Al-Qur'an 30 Juzz
Archive for Mei 2020
A.
Pengertian
Mazhab
Mazhab
( مذهب,
madzhab) adalah istilah dari bahasa Arab, yang berarti jalan yang dilalui dan
dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkrit maupun abstrak.
Sesuatu dikatakan mazhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi
ciri khasnya. Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan mazhab
adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian,
kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas
batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan
kaidah-kaidah.
Definisi
madzhab yang diutarakan oleh Imam Ahmad al-Dardir dalam al-syarh al-Kabir-nya.
Beliau mengatakan:
أَيْ فِيمَا ذَهَبَ إلَيْهِ مِنْ الْأَحْكَامِ
الِاجْتِهَادِيَّةِ إمَامُ الْأَئِمَّةِ
“Madzhab adalah pendapat dalam perkara-perkara
ijtihadiyah yang diambil oleh imam dari para imam madzhab.” (hasyiyah al-Dusuqi
‘ala al-Syarhi al-kabir)
Kemudian definisi itu dijelaskan oleh
Imam al-Dasuqi; ulama kenamaan dari madzhab yang sama dengan imam al-Dardir;
al-malikiyah. Beliau menjelaskan dalam hasyiyah-nya (1/19) bahwa yang disebut
madzhab adalah sekumpulan pendapat yang keluarkan seorang imam yang diikuti
dari para imam-imam madzhab semisal Imam Abu Hanifah, dan juga Imam Malik
tentunya, serta Imam al-Syafi’i, juga Imam Ahmad.
Yang mana pendapat itu adalah sebuah
hukum dalam masalah ijitihadiyyah; yakni masalah yang syariah tidak menjelaskan
hukumnya secara ekplisit, yang kemudian menjadi lahan dan ladang para ulama
untuk berijtihad di dalamnya.
Beliau (Al-Dasuqi) meneruskan; jadi, apa
yang dijelaskan hukumnya secara eksplisit (nash) di dalam al-Qur’an juga hadits
Nabi S.A.W. tidak bisa dikatakan sebagai pendapat madzhab, akan tetapi itu
adalah syariah. Contohnya seperti kewajiban shalat 5 waktu. Tidak bisa
dikatakan bahwa wajibnya shalat 5 waktu itu pendapat madzhab fulan. Tidak bisa.
Kewajiban shalat 5 waktu adalah kewajiban yang sifatnya qath’iy, yang tidak
butuh ijtihad; karena sudah jelas dan nyata sekali disebutkan dalam al-Qur’an.
Seperti contoh. Berbeda hal nya dengan
masa iddah wanita yang ditalak suaminya. Dalam QS. Al-baqarah ayat 228 memang
Allah SWT. menyebut bahwa iddah-nya wanita yang ditalak suami itu 3 quru’,
hanya saja arti quru’ dalam bahasa Arab itu masih bias. Ada yang mengartikan
sebagai masa suci, ada juga yang mengartikan sebagai masa haidh. Karenanya,
ulama beda pendapat di dalamnya. So, tidak bisa dikatakan bahwa menurut
al-Qur’an masa iddah wanita yang ditalak suaminya adalah 3 kali masa suci.
Tidak bisa. Yang betul adalah menurut madzhab fulan masa iddah wanita yang
ditalak suaminya adalah 3 kali masa suci.
Jadi itu yang disebut madzhab, yakni
sekumpulan pendapat-pendapat hukum dalam masalah ijtihadiyah. Masalah yang
memang butuh ijtihad. Dan yang berijtihad adalah seorang imam. Poin ini menjadi
penting untuk diketahui. Tidak semua orang bisa untuk melakukan apa yang telah
dilakukan oleh seorang imam madzhab dalam mengkonklusikan sebuah hukum dari
teks syariah. Tidak semua orang mampu, hanya orang-orang yang mempunyai
kapasitas saja yang boleh melakukan ijtihad itu.
B.
Sejarah
dan Karakteristik 4 Mazhab Fiqih
Setidaknya
ada tiga ruang lingkup yang sering menggunakan istilah mazhab di dalamnya.
Pertama mazhab akidah, kedua mazhab politik, dan ketiga mazhab fiqih. Dalam hukum Islam atau fiqih
terdapat empat mazhab besar yang diakui oleh golongan ahli sunnah wal jamaah,
yaitu Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali.
Ke
empat mazhab fiqih ini telah mempengaruhi perkembangan Islam. Perbedaan
implementasi fiqih berdasarkan mazhab masing-masing dalam suatu komunitas tak
jarang menjadi perdebatan yang tak berkesudahan. Namun toleransi merupakan
kunci terjaganya persaudaraan dalam iman. Berikut 4 sejarah dan karakteristik
mazhab fiqih tersebut yang dilansir dari kanal Youtube Catatan Ringan.
1. Hanafi
Mazhab
Hanafi atau Hanafiah didirikan oleh Nu'man bin Tsabit atau yang lebih terkenal
dengan nama Abu Hanifah. Ia wafat 767 masehi. Pemikiran hukumnya bercorak
rasional (Ahl al-ra’yu). Mazhab ini berasal dari Kufah, sebuah kota yang telah
mencapai kemajuan yang tinggi di Iraq. Sehingga persoalan yang muncul banyak
dipecahkan melalui pendapat, analogi, dan qiyas khafi. Karyanya yang terkenal
adalah Fiqh Al-Akbar.
Pada
masa Abu Hanifah, Kufah menjadi salah satu pusat aktifitas fikih para mujtahid
generasi tabi’it tabi’in. Sebelum generasi tabi’in, Kufah menjadi tempat
Abdullah bin Mas’ud (w. 32 H) yang dikirim oleh khalifah Umar bin Khattab (w.
644 M) untuk mengajarkan Islam dan memutuskan masalah-masalah hukum. Pendekatan
dan metode yang digunakan untuk memecahkan hukum adalah dengan ra’yu
(pendapat/nalar) karena ia sangat ketat dalam menerima hadis, analogi (qiyas),
dan istihsan (qiyas khafi). Mazhab Hanafi terkenal sangat ketat untuk menerima
hadis karena pada masa itu banyak muncul hadis-hadis palsu seiring dengan
perpecahan politik yang dialami umat Islam. Banyak hadis yang diciptakan
kelompok tertentu untuk mendukung kepentingan politiknya masing-masing.
Mazhab
Hanafi merupakan mazhab fiqih dengan jumlah pengikut terbesar di dunia dengan
jumlah pengikut sebanyak 675 juta jiwa. Negara-negara dengan pengikut terbanyak
mazhab ini adalah Pakistan, India, Bangladesh, Turki, Afganistan, dan
Uzbekistan.
Pada
masa Turki Utsmani, mazhab ini merupakan mazhab resmi kerajaan. Murid atau
pengikutnya yang terkenal adalah Abu Yusuf yaitu guru Imam Ahmad, asy-Syaibani
yaitu guru Imam Syafi'i, Abu Mansur Al-Maturidi, Jalaluddin Al-Rumi, dan
Bahauddin Naqsyaban.
2. Maliki
Mazhab
Maliki atau Maliki adalah mazhab yang didirikan oleh Malik bin Anas atau yang
biasa dikenal dengan nama Imam Malik. Imam Malik wafat pada 797 Masehi.
Sepanjang hidupnya Malik tidak pernah meninggalkan Madinah, kecuali untuk
keperluan ibadah haji. Pemikiran hukumnya banyak dipengaruhi sunnah yang
cenderung tekstual.
Imam
Malik juga termasuk periwayat hadist. Karyanya yang terkenal adalah
al-Muwattha', yaitu hadis yang bercorak fiqih. Imam Malik juga dikenal sebagai
seorang Mufti dalam kasus-kasus yang dihadapi.
Imam
Malik menggunakan metode sebagai berikut :
a)
tidak seketat Abu Hanifah dalam menerima
hadis. Jika Abu Hanifah hanya menerima hadis kalau hadis itu mutawatir atau
paling tidak pada tingkatan masyhur, Imam Malik hanya menerima hadis ahad
bahkan hadis ahad yang mursal asal periwayatannya orang yang terpercaya. Hadis
ahad juga lebih diutamakan daripada qiyas, sehingga ia lebih banyak menggunakan
hadis daripada ra’yu;
b)
‘Amal ahl al-Madinah (praktik masyarakat
Madinah), karena mereka dianggap orang yang paling tahu tentang al-Quran dan
penjelasan-penjelasan Rasulullah;
c)
Pernyataan sahabat (qaul al-shahabi).
Menurut Imam Malik, jika tidak ada hadis sahih dari Nabi SAW yang dapat
digunakan untuk memecahkan suatu masalah, maka pernyataan sahabat dapat
dijadikan sumber hukum. Pendapat ini didasarkan pada pandangan bahwa para
sahabat lebih memahami pengertian yang tersirat maupun tujuan ayat, karena
mereka menyaksikan sendiri turunnya al-Quran dan mendengar langsung penjelasan
Rasulullah SAW;
d)
Al-Mashlahat al-Mursalah, yaitu
mempertimbangkan kepentingan umum terhadap suatu permasalahan hukum yang secara
eksplisit tidak terdapat dalam al-Quran dan hadis baik yang mendukung maupun
yang menolak. Tujuannya adalah untuk menarik kemanfaatan (jalb al-manfa’ah) dan
menghindari mudharat (daf’ al-madharrah);
e)
Al-zari’ah, yaitu mempertimbangkan
perkataan dan perbuatan yang menyebabkan terjadinya perbuatan lain. Perbuatan
yang mengantarkan pada perbuatan haram, hukumnya haram, sedang perbuatan yang
mengantarkan pada perbuatan halal hukumnya juga halal;
f)
Qiyas. Apabila suatu masalah tidak
ditemukan ketentuannya dalam al-Quran, dan hadis, perkataan sahabat atau ijma’
ahl al-Madinah maka Imam Malik memutuskan masalah tersebut dengan qiyas, yaitu
menyamakan suatu peristiwa yang belum ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu
yang jelas hukumnya karena keduanya ada persamaan illat.
Mazhab Maliki merupakan mazhab fiqih dengan pengikut yang terkonsentrasi pada wilayah Afrika Utara dan Afrika Barat dengan jumlah pengikut sebanyak 270 juta jiwa. Negara-negara dengan pengikut terbanyak mazhab ini adalah Maroko, Al-Jazair, Mesir, Sudan, Nigeria, dan Tunisia. Murid atau pengikutnya yang terkenal adalah Imam Syafi'i, Yahya Al-Laitsi, Ibnu Rusdi, AI Qurthubi, Ibnu Batutah, dan Ibnu Khaldun.
3. Syafi'i
Mazhab
Syafi'i didirikan oleh Abu Abdullah Muhammad bin ldris as-syafi'i. Ia wafat
pada 767 masehi. Selama hidup Beliau pernah tinggal di Baghdad, Madinah, dan
terakhir di Mesir. Corak pemikirannya adalah konvergensi atau pertemuan antara
rasionalis dan tradisionalis.
Metode
dan pendekatan yang digunakan untuk meng-istinbath-kan hukum adalah:
a)
al-Quran dan sunnah merupakan sumber
pokoknya sebagaimana mazhab-mazhab lain meskipun cara pandang mereka terhadap
kedua sumber tesebut seringkali berbeda. Menurut Imam Syafi’i, al-Quran dan
hadist mutawatir berada dalam satu martabat, karena sunnah berfungsi untuk
menjelaskan al-Quran. Keduanya adalah wahyu meskipun kekuatan sunnah secara terpisah
tidak sekuat al-Quran;
b)
Ijma’. Ijma’ yang dimaksud Imam Syafi’i
adalah kesepakatan ulama suatu masa di seluruh dunia Islam, bukan ijma’ di satu
negeri saja dan bukan ijma’ kaum tertentu saja;
c)
Qiyas, yaitu menyamakan hukum suatu
masalah yang tidak ada ketentuannya dalam nash dengan hukum yang ada dalam nash
karena adanya persamaan illat.
Selain
berdasarkan pada Al Quran, Sunnah, dan Ijma, Imam Syafi'i juga berpegang pada
qiyas. Beliau disebut juga sebagai orang pertama yang membukukan ilmu usul
Fiqih. Karyanya yang terkenal adalah AI-Umm dan Ar-Risalah.
Pemikirannya
yang cenderung moderat diperlihatkan dalam Qaul Qadim (pendapat yang baru) dan
Qaul Jadid (pendapat yang lama). Untuk penyebarannya mazhab Syafl'i diikuti
oleh 495 juta jiwa. Negara-negara dengan mayoritas pengikut mazhab ini adalah
Indonesia, Ethiopia, Malaysia, Yaman, Mesir, dan Somalia.
Murid
atau pengikutnya yang terkenal adalah Imam Ahmad AI Ghazali, lbnu Katsir, lbnu Majah,
An Nawawi, Ibnu Hajar al-'Asqalani, Abu Hasan Al Asy'ari, dan Said Nursi.
4. Hambali
Mazhab
Hambali atau Hanabilah didirikan oleh Ahmad bin Muhammad bin Hambal atau
dikenal dengan nama Imam Hambali. Ia wafat pada 855 masehi. Pada masa mudanya
beliau berguru kepada Abu Yusuf dan Imam Syafi'i.
Corak
pemikirannya tradisionalis, selain berdasarkan pada Al Quran, sunnah, dan
ijtihad, Beliau juga menggunakan hadits Mursal dan Qiyas jika terpaksa. Selain
sebagai seorang ahli hukum, beliau juga seorang ahli hadist. Karyanya yang
terkenal adalah Musnad Ahmad, kumpulan hadis-hadis Nabi SAW.
Mazhab
Hambali merupakan mazhab fiqih dengan pengikut terkonsentrasi di wilayah Teluk
Persia dengan jumlah pengikut sebanyak 41 juta jiwa. Negara-negara dengan
pengikut terbanyak mazhab ini adalah Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar.
Murid
atau pengikutnya yang terkenal adalah Imam Bukhori, Abdul Qodir Al Jailani,
lbnu Qudammah, lbnu Taimiyah, Ibnu Qaiyyim Al jauziyyah, Adz-Dzahabi, dan
Muhammad bin Abdul Wahab.
Mazhab yang dikenal dalam sejarah Islam :
1.
Imam Abu Sa’id al-Hasan bin Yasar
al-Bashri (w. 110 H)
2.
Imam Abu Hanifah al-Nu’man (w. 150 H)
3.
Imam al-Auza’i Abu Amr bin Muhammad (w.
157 H)
4.
Imam Sufyan bin Sa’id bin Masraq
al-Tsauri (w. 160 H)
5.
Imam al-Laits bin Sa’ad (w. 175 H)
6.
Imam Malik bin Anas al-Asybahi (w. 179
H)
7.
Imam Sufyan bin Uyainah (w. 198 H)
8.
Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (w.
204 H)
9.
Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H)
C.
Pendapat
dalam 4 Mazhab tentang Sholat
Shalat merupakan rukun
kedua dari lima rukun Islam. Umat Islam sepakat bahwa menjalankan ibadah shalat
5 waktu (subuh, dzuhur, ashar, maghrib, dan isya’) adalah kewajiban. Tapi
ternyata banyak perbedaan pada teknis pelaksanaan dari menjalankan ibadah shalat
itu, meskipun hukumnya sama-sama wajib.
Berikut ini pendapat 4
Imam Madzhab (Maliki, Hambali, Hanafi dan Syafi’i) terkait rukun-rukun dan
fardhu-fardhu shalat :
1. Niat
Semua ulama mazhab
sepakat bahwa mengungkapkan niat dengan kata-kata tidaklah diminta. (Mughniyah;
2001). Ibnu Qayyim berpendapat dalam bukunya Zadul Ma’ad, sebagaimana yang
dijelaskan dalam jilid pertama dari buku Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah, sebagai
berikut : Nabi Muhammad saw bila menegakkan shalat, beliau langsung mengucapkan
“Allahu akbar” dan beliau tidak mengucapkan apa-apa sebelumnya, dan tidak
melafalkan niat sama sekali.
2. Takbiratul
Ihram
Shalat tidak akan
sempurna tanpa takbiratul ihram. Nama takbiratul ihram ini berdasarkan sabda
Rasulullah SAW : “Kunci shalat adalah bersuci, dan yang mengharamkannya (dari
perbuatan sesuatu selain perbuatan-perbuatan shalat) adalah takbir, dan
penghalalnya adalah salam.”
Maliki dan Hambali :
Kalimat Takbiratul Ihram adalah “Allah
Akbar” (Allah Maha Besar) tidak boleh menggunakan kata-kata lainnya.
Hanafi
:
Boleh dengan kata-kata lain yang sesuai
atau sama artinya dengan kata-kata tersebut, seperti “Allah Al-A’dzam” dan
“Allahu Al-Ajall” (Allah Yang Maha Agung dan Allah Yang Maha Mulia).
(Mughniyah; 2001)
Syafi’i
:
Boleh mengganti “Allahu Akbar” dengan
”Allahu Al-Akbar”, ditambah dengan alif dan lam pada kata “Akbar”. (Mughniyah;
2001)
Mengenai bahasa pengucapan Takbiratul
Ihram
Syafi’i, Maliki dan Hambali sepakat
bahwa mengucapkannya dalam bahasa Arab adalah wajib, walaupun orang yang shalat
itu adalah orang ajam (bukan orang Arab).
Hanafi : Sah mengucapkannya dengan
bahasa apa saja, walau yang bersangkutan bisa bahasa Arab.
Semua ulama mazhab sepakat : syarat
Takbiratul Ihram adalah semua yang disyaratkan dalam shalat. Kalau bisa
melkitakannya dengan berdiri; dan dalam mengucapkan kata “Allahu Akbar” itu harus
didengar sendiri, baik terdengar secara keras oleh dirinya, atau dengan
perkiraan jika ia tuli.(Mughniyah; 2001)
3.
Berdiri
Semua
ulama mazhab sepakat bahwa berdiri dalam shalat fardhu itu wajib sejak mulai
dari takbiratul ihram sampai ruku’, harus tegap, bila tidak mampu ia boleh
shalat dengan duduk. Bila tidak mampu duduk, ia boleh shalat dengan miring pada
bagian kanan, seperti letak orang yang meninggal di liang lahat, menghadapi
kiblat di hadapan badannya, menurut kesepakatan semua ulama mazhab selain
Hanafi.
Hanafi
berpendapat : siapa yang tidak bisa duduk, ia boleh shalat terlentang dan
menghadap kiblat dengan dua kakinya sehingga isyaratnya dalam ruku’ dan sujud
tetap menghadap kiblat. . Hanafi : bila sampai pada tingkat ini tetapi tidak
mampu, maka gugurlah perintah shalat baginya, hanya ia harus melaksanakannya
(meng-qadha’-nya) bila telah sembuh dan hilang sesuatu yang menghalanginya.
(Mughniyah;2001)
Syafi’i
dan Hambali :
Dan bila tidak mampu miring ke kanan,
maka menurut Syafi’i dan Hambali ia boleh shalat terlentang dan kepalanya
menghadap ke kiblat. Bila tidak mampu juga, ia harus mengisyaratkan dengan
kepalanya atau dengan kelopak matanya.
Syafi’i dan Hambali : Shalat itu tidaklah
gugur dalam keadaan apa pun. Maka bila tidak mampu mengisyaratkan dengan
kelopak matanya (kedipan mata), maka ia harus shalat dengan hatinya dan
menggerakkan lisannya dengan dzikir dan membacanya. Bila juga tidak mampu untuk
menggerakkan lisannya, maka ia harus menggambarkan tentang melkitakan shalat di
dalam hatinya selama akalnya masih berfungsi.
Maliki
:
Bila sampai seperti ini, maka gugur
perintah shalat terhadapnya dan tidak diwajibkan mengqadha’-nya. (Mughniyah;
2001)
4. Membaca
AL-FATIHAH
Hanafi
:
Membaca Al-Fatihah dalam shalat fardhu
tidak diharuskan, dan membaca bacaan apa saja dari AlQuran itu boleh,
berdasarkan Al-Quran surat Muzammil ayat 20 : (Mughniyah; 2001). ”Bacalah apa
yang mudah bagimu dari Al-Quran,” (Bidayatul Mujtahid, Jilid I, halaman 122,
dan Mizanul Sya’rani, dalam bab shifatus shalah).
Boleh meninggalkan basmalah, karena ia
tidak termasuk bagian dari surat. Dan tidak disunnahkan membacanya dengan keras
atau pelan. Orang yang shalat sendiri ia boleh memilih apakah mau didengar
sendiri (membaca dengan perlahan) atau mau didengar oleh orang lain (membaca
dengan keras), dan bila suka membaca dengan sembunyi-sembunyi, bacalah
dengannya. Dalam shalat itu tidak ada qunut kecuali pada shalat witir.
Sedangkan menyilangkan dua tangan adalah sunnah bukan wajib. Bagi lelaki adalah
lebih utama bila meletakkan telapak tangannya yang kanan di atas belakang
telapak tangan yang kiri di bawah pusarnya, sedangkan bagi wanita yang lebih
utama adalah meletakkan dua tangannya di atas dadanya. (Mughniyah; 2001)
Syafi’i
:
Membaca Al-Fatihah adalah wajib pada
setiap rakaat tidak ada bedanya, baik pada dua rakaat pertama maupun pada dua
rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah. Basmalah itu
merupakan bagian dari surat, yang tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apa
pun. Dan harus dibaca dengan suara keras pada shalat subuh, dan dua rakaat
pertama pada shalat maghrib dan isya’, selain rakaat tersebut harus dibaca
dengan pelan. Pada sholat subuh disunnahkan membaca qunut setelah mengangkat
kepalanya dari ruku’ pad rakaat kedua sebagaimana juga disunnahkan membaca
surat Al-Quran setelah membaca Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama saja.
Sedangkan menyilangkan dua tangan bukanlah wajib, hanya disunnahkan bagi lelaki
dan wanita. Dan yang paling utama adalah meletakkan telapak tangannya yang
kanan di belakang telapak tangannya yang kiri di bawah dadanya tapi di atas
pusar dan agak miring ke kiri. (Mughniyah; 2001)
Maliki
:
Membaca Al-Fatihah itu harus pada setiap
rakaat, tak ada bedanya, baik pada rakaat-rakaat pertama maupun pada
rakaat-rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah,
sebagaimana pendapat Syafi’i, dan disunnahkan membaca surat Al-Quran setelah
Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama.
Basmalah bukan termasuk bagian dari
surat, bahkan disunnahkan untuk ditinggalkan. Disunnahkan menyaringkan bacaan
pad shalat subuh dan dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan isya’, serta
qunut pada shalat subuh saja. Sedangkan menyilangkan kedua tangan adalah boleh,
tetapi disunnahkan untuk mengulurkan dua tangan pada shalat fardhu. (Mughniyah;
2001)
Hambali
:
Wajib membaca Al-Fatihah pada setiap
rakaat, dan sesudahnya disunnahkan membaca surat AlQuran pada dua rakaat yang
pertama. Dan pada shalat subuh, serta dua rakaat pertama pada shalat maghrib dan
isya’ disunnahkan membacanya dengan nyaring.
Basmalah merupakan bagian dari surat,
tetapi cara membacanya harus pelan-pelan dan tidak boleh dengan keras. Qunut
hanya pada shalat witir bukan pada shalat-shalat lainnya. Sedangkan
menyilangkan dua tangan disunahkan bagi lelaki dan wanita, hanya yang paling
utama adalah meletakkan telapak tangannya yang kanan pada belakang telapak
tangannya yang kiri, dan meletakkan di bawah pusar.
Ke empat mazhab menyatakan bahwa membaca
Aamiin adalah sunnah, berdasarkan hadits Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW
bersabda : “kalau ingin mengucapkan Ghairil maghdubi ’alaihim waladhdhaaallin,
maka kalian harus mengucapkan Aamiin.”
5.
Ruku’
Semua
ulama mazhab sepakat bahwa ruku’ adalah wajib di dalam shalat. Namun mereka
berbeda pendapat tentang wajib atau tidaknya ber-thuma’ninah di dalam ruku’,
yakni ketika ruku’ semua anggota badan harus diam, tidak bergerak.
Hanafi
:
Yang diwajibkan hanya semata-mata
membungkukkan badan dengan lurus, dan tidak wajib thuma’ninah. Mazhab-mazhab yang
lain : wajib membungkuk sampai dua telapak tangan orang yang shalat itu berada
pada dua lututnya dan juga diwajibkan ber-thuma’ninah dan diam (tidak bergerak)
ketika ruku’.
Syafi’i, Hanafi, dan Maliki :
Tidak wajib berdzikir ketika shalat,
hanya disunnahkan saja mengucapkan : Subhaana rabbiyal ’adziim (Maha Suci
Tuhanku Yang Maha Agung)
Hambali
:
Membaca tasbih ketika ruku’ adalah wajib. Kalimatnya menurut Hambali : Subhaana rabbiyal ’adziim (Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung)
6. I’tidal
Hanafi
:
Tidak wajib mengangkat kepala dari ruku’
yakni i’tidal (dalam keadaan berdiri).
Dibolehkan untuk langsung sujud, namun
hal itu makruh. Mazhab-mazhab yang lain : wajib mengangkat kepalanya dan
ber-i’tidal, serta disunnahkan membaca tasmi’, yaitu mengucapkan :
Sami’allahuliman hamidah (”Allah mendengar orang yang memuji-Nya”)
7.
Sujud
Semua
ulama mazhab sepakat bahwa sujud itu wajib dilkitakan dua kali pada setipa
rakaat. Mereka berbeda pendapat tentang batasnya. (Mughniyah; 2001)
Maliki,
Syafi’i, dan Hanafi :
Yang wajib (menempel) hanya dahi,
sedangkan yang lain-lainnya adalah sunnah.
Hambali
:
Yang diwajibkan itu semua anggota yang
tujuh (dahi, dua telapak tangan, dua lutut, dan ibu jari dua kaki) secara
sempurna. Bahkan Hambali menambahi hidung, sehingga menjadi delapan.
Perbedaan juga terjadi pada tasbih dan
thuma’ninah di dalam sujud, sebagaimana dalam ruku’. Maka mazhab yang
mewajibkannya di dalam ruku’ juga mewajibkannya di dalam sujud. Hanafi : tidak
diwajibkan duduk di antara dua sujud itu. Mazhab-mazhab yang lain : wajib duduk
di antara dua sujud. (Mughniyah; 2001)
8.
Tahiyyat
Tahiyyat
di dalam shalat dibagi menjadi dua bagian :
Pertama
yaitu tahiyyat yang terjadi setelah dua rakaat pertama dari shalat maghrib,
isya’, dzuhur, dan ashar dan tidak diakhiri dengan salam. Yang kedua adalah
tahiyyat yang diakhiri dengan salam, baik pada shalat yang dua rakaat, tiga,
atau empat rakaat. (Mughniyah; 2001)
Tahiyyat Awal
Hambali : Tahiyyat pertama itu wajib.
Mazhab-mazhab lain : hanya sunnah.
Tahiyyat Akhir
Hanafi : Hanya sunnah, bukan wajib.
Kalimat (lafadz) tahiyyat :
“Attahiyatu lillahi washolawaatu
waththoyyibaatu wassalaamu (Kehormatan itu kepunyaan Allah, shalawat dan
kebaikan serta salam sejahtera) ’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi
wabarakaatuh (Kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya) Assalaamu’alainaa
wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin (Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami
dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh) Asyhadu anlaa ilaaha illallah (Kita
bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah) Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu
warosuuluh (Dan kita bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya)”
Maliki
:
Hukumnya hanya sunnah, bukan wajib.
Kalimat (lafadz) tahiyyat :
“Attahiyyatu lillaahi azzaakiyaatu
lillaahi aththoyyibaatu ashsholawaatu lillah (Kehormatan itu kepunyaan Allah,
kesucian bagi Allah, kebaikan dan shalawat juga bagi Allah) Assalaamu’alaika
ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh (Salam sejahtera kepadamu, wahai
Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya) Assalaamu’alainaa wa ’alaa
’ibaadillahishshoolihiin (Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada
hamba-hamba Allah yang saleh) Asyhadu anlaa ilaaha illallah wahdahu laa
syariikalah (Kita bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa tidak
ada sekutu bagi-Nya) Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh (Dan kita
bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya)”
Syafi’i
:
Hukumnya wajib. Kalimat (lafadz)
tahiyyat :
“Attahiyyatul mubaarokaatush
sholawaatuth thoyyibaatu lillaah (Kehormatan, barakah-barakah, shalawat, dan kebaikan
adalah kepunyaan Allah) Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi
wabarakaatuh (Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta
barakah-Nya) Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin (Semoga
kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh) Asyhadu
anlaa ilaaha illallah (Kita bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah) Waasyhadu
anna muhammadan ’abduhu warosuuluh (Dan kita bersaksi bahwa muhammad adalah
hamba-Nya dan rasul-Nya)”
Hambali
:
Hukumnya wajib. Kalimat (lafadz)
tahiyyat :
“Attahiyyatu lillahi washsholawaatu
waththoyyibaatu (Kehormatan itu kepunyaan Allah, juga shalawat dan kebaikan) Assalaamu’alaika
ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh (Salam sejahtera kepadamu, wahai
Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya) Assalaamu’alainaa wa ’alaa
’ibaadillahishshoolihiin (Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada
hamba-hamba Allah yang saleh) Asyhadu anlaa ilaaha illallah wahdahu laa
syariikalah (Kita bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa tidak
ada sekutu bagi-Nya) Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh (Dan kita
bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya) Allahumma sholli ’alaa
muhammad (Ya Allah, berikanlah shalawat kepada muhammad)”
9.
Mengucapkan SALAM
Menurut
empat mazhab, kalimatnya sama yaitu :
Assalaamu’alaikum
warahmatullaah (Semoga kesejahteraan dan rahmat Allah tercurah kepada kalian)
Syafi’i, Maliki, dan Hambali :
mengucapkan salam adalah wajib. Hanafi : tidak wajib. (Bidayatul Mujtahid,
Jilid I, halaman 126).
Hambali : Wajib mengucapkan salam dua
kali, sedangkan yang lain hanya mencukupkan satu kali saja yang wajib.
10.
Tertib
Diwajibkan
tertib antara bagian-bagian shalat. Maka takbiratul Ihram wajib didahulukan
dari bacaan Al-Quran (salam atau Al-Fatihah), sedangkan membaca Al-Fatihah
wajib didahulukan dari ruku’, dan ruku’ didahulukan dari sujud, begitu
seterusnya.
Berturut-turut
Diwajibkan mengerjakan bagian-bagian
shalat secara berurutan dan langsung, juga antara satu bagian dengan bagian
yang lain. Artinya membaca Al-Fatihah langsung setelah bertakbir tanpa ada
selingan. Dan mulai ruku’ setelah membaca Al-Fatihah atau ayat Al-Quran, tanpa
selingan, begitu seterusnya. Juga tidak boleh ada selingan lain, antara
ayat-ayat, kalimat-kalimat, dan huruf-huruf.
D.
Pendapat
4 Mazhab dalam Masalah Qunut
1.
Ulama Malikiyyah
Mereka
berpendapat bahwa tidak ada qunut kecuali pada shalat shubuh saja. Tidak ada
qunut pada shalat witir dan shalat-shalat lainnya.
2.
Ulama Syafi’iyyah
Mereka
berpendapat bahwa tidak ada qunut dalam shalat witir kecuali ketika separuh
akhir dari bulan Ramadhan. Dan tidak ada qunut dalam shalat lima waktu yang
lainnya selain pada shalat shubuh dalam setiap keadaan (baik kondisi kaum muslimin
tertimpa musibah ataupun tidak). Qunut juga berlaku pada selain shubuh jika
kaum muslimin tertimpa musibah (yaitu Qunut Nazilah).
3.
Ulama Hanafiyyah
Disyariatkan
qunut pada shalat witir. Tidak disyariatkan qunut pada shalat lainnya kecuali
pada saat nawaazil yaitu kaum muslimin tertimpa musibah, namun qunut nawaazil
ini hanya pada shalat shubuh saja dan yang membaca qunut adalah imam, lalu
diaminkan oleh jama’ah dan tidak ada qunut jika shalatnya munfarid (sendirian).
4.
Ulama Hanabilah (Hambali)
Mereka
berpendapat bahwa disyari’atkan qunut dalam witir. Tidak disyariatkan qunut
pada shalat lainnya kecuali jika ada musibah yang besar selain musibah
penyakit. Pada kondisi ini imam atau yang mewakilinya berqunut pada shalat lima
waktu selain shalat Jum’at.
Sedangkan
Imam Ahmad sendiri berpendapat, tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wa sallam pernah melakukan qunut witir sebelum atau sesudah
ruku’.
Inilah
pendapat para imam madzhab. Namun pendapat yang lebih kuat, tidak disyari’atkan
qunut pada shalat fardhu kecuali pada saat nawazil (kaum muslimin tertimpa
musibah). Adapun qunut witir tidak ada satu hadits shahih pun dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wa sallam yang menunjukkan beliau melakukan qunut witir.
Akan tetapi dalam kitab Sunan ditunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa
sallam mengajarkan Al Hasan bin ‘Ali bacaan yang diucapkan pada qunut witir
yaitu “Allahummah diini fiiman hadayt …”. Sebagian ulama menshahihkan hadits
ini. Jika seseorang melakukan qunut witir, maka itu baik. Jika meninggalkannya,
juga baik. Hanya Allah yang memberi taufik. (Ditulis oleh Syaikh Muhammad Ash
Sholih Al ‘Utsaimin, 7/ 3/ 1398)
Adapun
mengenai qunut shubuh secara lebih spesifik, Syaikh Muhammad bin Sholih Al
Utsaimin menjelaskan dalam fatwa lainnya. Beliau pernah ditanya: “Apakah
disyari’atkan do’a qunut witir (Allahummah diini fiiman hadayt …) dibaca pada
raka’at terakhir shalat shubuh?”
Beliau
rahimahullah menjelaskan: “Qunut shubuh dengan do’a selain do’a ini (selain
do’a “Allahummah diini fiiman hadayt …”), maka di situ ada perselisihan di
antara para ulama. Pendapat yang lebih tepat adalah tidak ada qunut dalam
shalat shubuh kecuali jika di sana terdapat sebab yang berkaitan dengan kaum
muslimin secara umum. Sebagaimana apabila kaum muslimin tertimpa musibah
-selain musibah wabah penyakit-, maka pada saat ini mereka membaca qunut pada
setiap shalat fardhu. Tujuannya agar dengan do’a qunut tersebut, Allah
membebaskan musibah yang ada.”
Apakah
perlu mengangkat tangan dan mengaminkan ketika imam membaca qunut shubuh?
Dalam
lanjutan perkataannya di atas, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan : “Oleh karena
itu, seandainya imam membaca qunut shubuh, maka makmum hendaklah mengikuti imam
dalam qunut tersebut. Lalu makmum hendaknya mengamininya sebagaimana Imam Ahmad
rahimahullah memiliki perkataan dalam masalah ini. Hal ini dilakukan untuk
menyatukan kaum muslimin.
Adapun
jika timbul permusuhan dan kebencian dalam perselisihan semacam ini padahal di
sini masih ada ruang berijtihad bagi umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka ini selayaknya tidaklah terjadi. Bahkan wajib bagi kaum muslimin
–khususnya para penuntut ilmu syar’i- untuk berlapang dada dalam masalah yang
masih boleh ada perselisihan antara satu dan lainnya. ”
Dalam
penjelasan lainnya, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin mengatakan, “Yang
lebih tepat makmum hendaknya mengaminkan do’a (qunut) imam. Makmum mengangkat
tangan mengikuti imam karena ditakutkan akan terjadi perselisihan antara satu
dan lainnya. Imam Ahmad memiliki pendapat bahwa apabila seseorang bermakmum di
belakang imam yang membaca qunut shubuh, maka hendaklah dia mengikuti dan
mengamini do’anya. Padahal Imam Ahmad berpendapat tidak disyari’atkannya qunut
shubuh sebagaimana yang sudah diketahui dari pendapat beliau. Akan tetapi, Imam
Ahmad rahimahullah memberikan keringanan dalam hal ini yaitu mengamini dan
mengangkat tangan ketika imam melakukan qunut shubuh. Hal ini dilakukan karena
khawatir terjadinya perselisihan yang dapat menyebabkan renggangnya hati (antar
sesama muslim).”
E.
Rukun
Wudhu’ menurut pendapat 4 Imam Mazhab
Dalam
satu hadits riwayat Imam Muslim, Rasulullah SAW pernah bersabda : “Tidaklah shalat itu diterima apabila tanpa
wudhu”. Secara bahasa kata wudhu’ (الوُضوء) dalam bahasa Arab berasal dari kata Al-Wadha'ah
(الوَضَاءَة).
Kata ini bermakna An-Nadhzafah (النظافة) yaitu kebersihan.
Ketika
ada pertanyaan apakah wudhu kita sah atau tidak, maka jawabannya cukup dengan
cara melihat pelaksanaan rukun wudhunya. Jika semua rukun wudhu terpenuhi maka
wudhunya sudah dianggap sah.
Para
ulama 4 mazhab berijmak bahwa anggota
wudhu yang disebut dalam al-Quran merupakan
rukun dari wudhu. Yaitu:
· Membasuh
wajah
· Membasuh
tangan
· Mengusap
kepala
·
Membasuh kaki
Keempat rukun tersebut disebutkan dalam firman
Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ
إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُواْ بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَين
“ Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu
hendak melaksanakan shalat maka basuhlah
wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu
sampai ke kedua mata kaki”. (QS:
Al-Maidah-6)
Kendati demikian madzhab Malikiyah, Syaf’iyah,
Hanabilah menambahkan rukun wudhu selain yang termaktub dalam al-Qur’an.
Kecuali Hanafiyah, mereka berkata barang siapa yang berwudhu dengan melakukan 4
rukun ini, maka wudhunya sah, akan tetapi ia meninggalkan sunnah wudhu yang
lain.
Adapun rukun wudhu setiap madzhab sebagai berikut:
1.
Hanafiyyah
a)
Membasuh wajah
Yaitu
membasuh dari awal rambut yang berbatasan dengan dahi hingga bagian bawah dagu.
b)
Membasuh tangan
Yaitu
membasuh dari ujung jari tangan hingga sikut
c)
Membasuh kaki
Yaitu
membasuh mata kaki hingga akhir bagian bawah kaki
d)
Membasuh kepala
Membasuh
seperempat kepala bagi pria maupun wanita, dan itu yang wajib menurut madzhab
Hanafiyah
2.
Malikiyah
a)
Niat
b)
Membasuh wajah
batasannya
sama dengan madhzhab Hanafiyah yakni dari awal rambut yang berbatasan dengan
dahi hingga bagian bawah dagu
c)
Membasuh tangan
Dari
ujung jari tangan hingga siku
d)
Membasuh rambut kepala dari batasan
rambut dengan dahu sampai ke bagian belakang kepala bagi pria dan wanita
e)
Membasuh kedua kaki
f)
Muwalah
Yaitu
bergegas mengusap bagian wudhu lannya agar bagian wudhu yang telah dibasuh
tidak kering
g)
Menggosok bagian wudhu dan mengalirkan
air ke anggota wudhu
3.
Syafi’iyah
a)
Niat
b)
Membasuh wajah, menurut Syafi’iyah batas
wajah yaitu sama dengan batas yang telah ditentukan oleh Hanafiyah, hanya saja
mereka mewajibkan untuk membasuh bagian bawah dahi termasuk jenggot, jika
jenggotnya lebat maka disunnahkan untuk menggosok sampai bagian dalamnya namun
jika janggutnya tipis maka wajib baginya mengusap semua bagian janggut.
c)
Membasuh kedua tangan
Bagian
tangan yang wajib dibasuh menurut mereka sama dengan batas tangan yang
ditentukan oleh Hanafiyah, hanya saja Syafi’iyah mewajibkan untuk menghilangkan
kotoran di bawah kuku.
d)
Mengusap rambut kepala
Menurut
Syaf’iyyah jika seorang mengusap sebagian banyak maupun kecil rambut kepala,
maka sah wudhunya.
e)
Membasuh kedua kaki
Yaitu
dari mata kaki sampai bagian bawah kaki.
f)
Tertib
Yaitu
wudhu secara berurutan.
4.
Hanabilah
a)
Membasuh wajah
Adapun
niat, Hanabilah menjadikannya sebagai syarat wudhu bukan rukun wudhu
b)
Membasuh kedua tangan
Batasannya
sama dengan madzhab lain.
c)
Mengusap seluruh bagian rambut di kepala
Yaitu
mengusap seluruh bagian rambut di kepala, termasuk kedua telinga, namun jika
rambutnya panjang sampai melewati batas kepala maka tidak wajib mengusap rambut
yang melebihi batasan kepala.
d)
Membasuh kaki
e)
Tartib
Yaitu
melakukan rangkaian wudhu denga berurutan
f)
Muwalah
Yaitu bersegera membasuh bagian wudhu lainnya sebelum bagian yang sudah dibasuh menjadi kering.
Hukum
Mengusap Kepala Ketika Wudhu Menurut 4 Mazhab
1. Mazhab Hanafi.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa mengusap kepala
ketika wudhu cukup dengan seperempat dari bagian kepala saja. Yaitu dengan cara
mengusap bagian ubun-ubun kepala misalnya.
Dalam
masalah ini, Mazhab Hanafi menggunakan dalil shahih yang diriwayatkan Imam
Muslim dengan sanad yang shahih:
أَنَ النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «تَوَضَّأَ فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ، وَعَلَى
الْعِمَامَةِ وَعَلَى الْخُفَّيْنِ. رواه مسلم.
Dari Mughiroh bin Syu’bah radhiyallahu
'anhu: Sesungguhnya Nabi SAW Berwudhu kemudian mengusap ubun-ubunnya dan
imamahnya serta khuf. (HR. Muslim)
2. Mazhab Maliki.
Mazhab
Maliki berpendapat bahwa mengusap kepala ketika wudhu wajib diratakan ke
seluruh kepala. Dalam masalah ini, Madzhab Maliki menggunakan dalil shahih yang
diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim dengan sanad yang shahih:
وعن عبد الله بن يزيد بن
عاصم - رضي الله عنه - في صفة الوضوء - قال: ومسح - صلى الله عليه وسلم - برأسه,
فأقبل بيديه وأدبر. متفق عليه.
Dari Abdullah bin Yazid: Nabi SAW mengusap kepalanya mulai dari depan dengan kedua tangannya sampai ke belakang kepala. (Muttafaqun Alaih)
3. Mazhab Syafi'i
Mazhab
Syafi'i berpendapat bahwa mengusap kepala ketika wudhu cukup dengan sebagian
dari kepala saja, walaupun hanya beberapa rambut saja. Dalam masalah ini,
Mazhab Syafi'i menggunakan dalil shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
dengan sanad yang shahih:
أَنَ النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «تَوَضَّأَ فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ، وَعَلَى
الْعِمَامَةِ وَعَلَى الْخُفَّيْنِ. رواه مسلم.
Dari Mughiroh bin Syu'bah radhiyallahu
'anhu : Sesungguhnya Nabi SAW berwudhu kemudian mengusap ubun-ubunnya dan
imamahnya serta khuf. (HR. Muslim)
4. Mazhab Hambali.
Mazhab
Hambali berpendapat bahwa mengusap kepala ketika wudhu wajib diratakan ke seluruh
kepala. Pendapat Mazhab Hambali ini sama seperti pendapat Mazhab Maliki.
Dalam
masalah ini, Mazhab Hambali menggunakan dalil shahih yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dan Imam Muslim dengan sanad yang shahih :
وعن عبد الله بن يزيد بن
عاصم - رضي الله عنه - في صفة الوضوء - قال: ومسح - صلى الله عليه وسلم - برأسه,
فأقبل بيديه وأدبر. متفق عليه.
Dari Abdullah bin Yazid: Nabi SAW mengusap kepalanya
mulai dari depan dengan kedua tangannya sampai ke belakang kepala. (Muttafaqun
Alaih)
Yang
Membatalkan Shalat Menurut Empat Mazhab
Masing-masing
mazhab terkadang sepakat dalam satu hal dan berbeda dalam lain hal. Berikut
uraiannya :
1. Mazhab Syafi’i
Di dalam mazhab Syafi’i, ada beberapa hal yang dapat
membatalkan sholat, yaitu :
a) Karena
hadats yang mewajibkan wudhu’ atau mandi,
b) Berbacara
secara sengaja,
c) Menangis,
d) Merintih
dalam sebagian keadaan,
e) Banyak
bergerak,
f) Ragu-ragu
dalam niat,
g) Bimbang
dalam memutuskan sholat namun tetap meneruskannya,
h) Menukar
niat satu sholat fardhu dengan sholat fardhu yang lain. (Menukar niat dengan
sholat sunnah dibolehkan jika ia bermaksud hendak menunaikan sholat fardhu
secara jama’ah).
i) Terbuka
aurat, sedangkan ia mampu menutupnya,
j) Tidak
menutup aurat, padahal ia memiliki pakaian,
k) Kena
najis yang tidak dimaafkan, kalau tidak segera dibuang,
l) Mengulang-ulang
takbiratul ihram,
m) Meninggalkan
rukun secara sengaja,
n) Mengikuti
imam yang tidak patut diikuti karena kekufurannya atau sebab lainnya,
o) Menambah
rukun secara sengaja,
p) Makan
atau minum,
q) Berpaling
dari kiblat dengan dadanya,
r) Mendahulukan
rukun fi’li dari yang lainnya.
2.
Mazhab
Maliki
Hal-hal yang membatalkan sholat menurut mazhab
Maliki, yaitu :
a) Meninggalkan
salah satu rukun dengan sengaja,
b) Menambah
rukun dengan sengaja,
c) Menambah
tasyahud bukan pada tempatnya,
d) Tertawa
terbahak-bahak,
e) Makan
dan minum dengan sengaja,
f) Berbicara
dengan sengaja,
g) Meniup
dengan mulut secara sengaja,
h) Muntah
dengan sengaja,
i) Terjadi
sesuatu yang membatalkan wudhu’,
j) Terbuka
aurat,
k) Terkena
najis,
l) Banyak
bergerak,
m) Menambah
rakaat,
n) Sujud
sebelum salam,
o) Meninggalkan
tiga sunnah dari sunnah-sunnah sholat karena lupa serta tidak melakukan sujud
sahwi.
3.
Mazhab
Hambali
Yang membatalkan sholat menurut mazhab Hambali yaitu
:
a) Banyak
bergerak,
b) Kena
najis yang tidak dimaafkan,
c) Membelakangi
kiblat,
d) Terjadi
sesuatu yang membatalkan wudhu’,
e) Sengaja
membuka aurat,
f) Bersandar
dengan kuat tanpa alasan,
g) Menambah
rukun dengan sengaja,
h) Mendahulukan
sebagian rukun dengan rukun lainnya dengan sengaja,
i) Keliru
dalam bacaan yang merubah arti dari bacaan itu padahal ia mampu memperbaikinya,
j) Berniat
memutuskan sholat atau bimbang dalam hal itu,
k) Ragu-ragu
dalam takbiratul ihram,
l) Tertawa
terbahak-bahak,
m) Berbicara,
baik sengaja atau tidak,
n) Makmum
memberi salam dengan sengaja menhalui imam,
o) Makan
atau minum,
p) Berdehem
tanpa alasan,
q) Meniup
dengan mulum jika keluar suara minimal dua huruf,
r) Menangis
bukan karena takut kepada Allah.
4.
Mazhab
Hanafi
Yang membatalkan sholat menurut mazhab Hanafi adalah
:
a) Berbicara
dengan sengaja, lupa, tidak tahu hukumnya atau karena keliru,
b) Membaa
do’a yang mirip dengan perkataan manusia,
c) Banyak
begerak,
d) Memalingkan
dada dari kiblat,
e) Makan
dan minum,
f) Berdehem
tanpa alasan,
g) Menggerutu,
h) Merintih,
mengaduh, menangis dengan suara keras,
i) Membalas
ucapan orang yang bersin,
j) Mengucapkan
kalimat “Innalillah” ketika mendengar kabar buruk,
k) Mengucapkan
kalimat “alhamdulillah” ketika mendengar kabar baik,
l) Mengucapkan
kalimat “subhanallah” atau “la ilaha illallah” ketika heran,
m) Orang
yang sholat dengan bertayamum lalu mendapati air,
n) Terbit
matahari ketika sedang sholat shubuh,
o) Matahari
tergelincir ketika sedang mengerjakan sholat ‘id,
p) Jatuhnya
pembalut luka yang belum sembuh,
q)
Berhadats dengan sengaja. Jika didahului
oleh hadats (dengan tidak sengaja), maka tidak membatalkan sholat, namun harus
berwudhu’ dan meneruskan sholatnya.